Skip to main content

Captain Fantastic

 Apa yang menjadi pilihan kita untuk mendidik anak-anak kita?

Film Captain Fantastic menyajikan pertanyaan ini dengan nuansa kemerdekaan hidup yang kental di sepanjang alurnya. Cerita dimulai dengan menyorot keindahan hutan di negara bagian Washington, Amerika Serikat, saat terjadinya ritual berburu rusa bagi anak yang sudah dewasa di keluarga Cash. 

    

 (Sumber : GILAFILM.id)

Apakah keluarga Cash keluarga yang mengikuti aliran kepercayaan tertentu yang berhubungan dengan  ritual seperti suku-suku primitif zaman dahulu? Di satu sisi, keluarga ini amat canggih pengetahuannya akan ilmu pengetahuan terkini, klasik maupun kontemporer. Ben Cash, si kepala keluarga, dan istrinya, Leslie, memutuskan untuk mendidik sendiri anak-anak mereka dengan hidup off-grid di pedalaman hutan Washington, jauh dari peradaban yang menurut mereka materialistis. Keenam anak ini dibekali pengetahuan survival sedari dini, dan diwajibkan membaca buku-buku pengetahuan ensiklopedik di samping buku-buku yang mereka suka. Hasilnya, enam orang anak yang kritis, berstamina prima, dan bahkan bersikap lebih sopan dibandingkan sepupu-sepupu mereka yang dibesarkan di kota dengan segala fasilitas masa kini. Ben meninggalkan kedudukannya di universitas sebagai profesor untuk menjalani hidup dan mendidik anak-anaknya sebagaimana yang diimpikannya seperti ini. 


Zaja (diceritakan 8 tahun), salah satu putri Cash,
menjelaskan filosofi Undang-Undang Hak
Amerika Serikat

Istri Ben, Leslie, ternyata mengidap bipolar disorder dan harus menjalani perawatan selama tiga bulan sebelum akhirnya memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Cerita pun berkutat dengan usaha keluarga Cash untuk menghadiri pemakaman si ibu, karena Ben dilarang oleh ayah mertuanya menghadiri pemakaman itu. Drama pun mengalir, menampakkan muka masyarakat yang skeptis dan sinis melihat keadaan dan filosofi keluarga Cash dalam memandang kehidupan dan kematian, yang 'dibenturkan' secara klimaks di acara pemakaman. Ben berpidato tanpa diminta bahwa Leslie, yang diketahuinya selama ini menganut Buddhisme, tidak akan ingin dimakamkan secara kristiani (disebutnya 'dalam cara-cara organized religion') dan dalam surat wasiatnya, menyatakan bahwa Leslie ingin dikremasi. 

Ben lalu diusir, dan salah satu dari keenam anaknya (Rellian) memutuskan untuk tinggal bersama kakek neneknya karena tidak menyukai gaya hidup Ben membesarkannya. Ketika berusaha untuk membawa kembali Rellian pulang, terjadi kecelakaan yang mengakibatkan anak lainnya, Vespyr, cedera hingga nyaris lumpuh, membuat keadaan semakin kacau. Suasana semakin menyayat hati karena ternyata anak tertua, Bodevan, membuka rahasianya pada ayahnya bahwa ibu mereka, Leslie, ternyata membantunya mempersiapkan ujian masuk universitas tanpa sepengetahuan Ben--- di mana Bodevan secara terang-terangan 'menampar' Ben bahwa pendekatannya mendidik anak bukannya membuat mereka arif, namun menjadikan mereka tidak tahu apa-apa tentang dunia. 

Di akhir cerita, Ben terlihat menjadi berkompromi lebih dengan keadaan dan memutuskan untuk memulai hidup baru di pertanian, dengan keenam anaknya tetap bersamanya. 

Manusia sebagai makhluk adaptif dan kodependen dengan lingkungannya

Dari cerita ini, dapat dilihat bahwa bagaimanapun manusia, seperti juga semua makhluk hidup di dunia ini, membutuhkan lingkungan yang di dalamnya mereka harus beradaptasi sesuai perkembangan zaman. Ada pula sisi sentimental di mana disinggung bagaimana sebagai orangtua, terkadang manusia bertanya-tanya sendiri, tidak hanya mampukah ia memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya, namun, sudah benarkah langkah yang ia ambil sebagai orangtua dalam memberikan pendidikan yang akan bisa membuat anak-anaknya tumbuh menjadi lebih baik?

Walaupun sedikit banyak disisipkan nilai-nilai liberal yang cenderung leftist, namun pesan yang lebih kuat terasa adalah isu bagaimana orangtua berupaya untuk menyediakan yang terbaik bagi anak-anaknya, dan bagaimana lingkungan ternyata bisa mempengaruhi keputusan-keputusan itu. Dalam potongan-potongan potret 'sup kehidupan' yang kompleks ini, disajikan dengan mulus, getir, namun ada pula terasa manis, bagaimana perjuangan setiap manusia yang disorot di dalamnya. 

Kalau boleh saya renungkan, apa yang dilakukan Ben Cash inilah yang layak membuatnya disebut sebagai si 'Kapten Fantastis' dalam cerita ini. Cara-cara yang dilakukannya strategis, dengan berupaya membangun unit terkecil, yaitu keluarga, yang bisa mendukung nilai-nilai yang dianutnya untuk kemudian menjadi semakin besar... dan siapa tahu, akhirnya akan bisa sedikit demi sedikit mengubah dunia, ya, siapa yang tahu? Peran yang diambilnya sebagai seorang family man yang amat mengayomi keluarganya, disarikan dengan amat puitis oleh pemerannya sendiri, Viggo Mortensen,

"Nobody is right all the time.If you're talking about my character, he's a man trying to find his balances, and he struggles with that. " (Mortensen, dari salah satu wawancara di New York Times)

Dan, saya pikir, apa yang disuarakan oleh film ini, amat tepat disarikan oleh si aktor, masih dari wawancara yang sama:

" Something in the movie struck a chord. It's a family story very much for our time. In part because societies everywhere are so polarized, more so than they have been in years. There's fear and mistrust. Socioeconomics clashes. And politicians have exploited it everywhere.The movie does speak to the problems of communicating and listening to people that have different opinions ... it's also a movie that encourages an audience member to examine their life and ideas.

Tulisan ini saya buat sebagai salah satu Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni 2021. 





Comments

  1. Baca resensi teteh jadi keinget serial doomsday preppers di natgeo kalau ga salah. Di luar negeri memang banyak keluarga yg spt itu ya teh, hidup jauh dr peradaban dan mempersiapkan diri untuk masa krisis. Dulu sy sempet kepikiran jg apa keluarga sy harus kayak gitu? Sampai sekarang masih kepikiran sih teh hehehe. Menurut teteh gimanaa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau menurut saya, yang harus dibangun itu rasa ingin tahu, berpikir kritis, dan semangat memecahkan masalah, Teh, heuheu ... jadi di mana pun berada seseorang bisa beradaptasi.

      Delete
  2. Cerita yang menarik ini teh. Kadang sebagai orang tua kita pikir kita tau yang terbaik untuk anak. Jadi mengarahkan macam macam. Tapi ternyata bukan itu yang diperlukan anak anak sendiri ya ๐Ÿ˜…

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi problem klasik ya Teeh,,, ada di semua zaman tampaknya

      Delete
  3. Menarik filmnya, saya Kok jadi teringat perkataannya Ali bin Abi Thalib yaa.. Yang didiklah anakmu sesuai dengan zamannya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, jadi diingatkan lagi oleh Teteh tentang kata-kata ini... masha Allah, moga kita bisa ya Teh๐Ÿฅฒ

      Delete
  4. Baru tau loh ada film ini. Ide ceritanya menarik banget. Kadang jadi ortu bikin kita yakin banget banget sudah melakukan yang terbaik. Padahal nggak juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya nonton film ini berkali-kali Teh, ga tahu kenapa๐Ÿ˜…

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Cerita seputar mengutak-atik Table of Content

Halo, halo, kali ini aku mau bercerita sejenak meluapkan pikiran setelah latihan iseng coding HTML. Daftar Isi 1. Cerita satu 2. Cerita dua Cerita satu  Wkwkwkw ga usah ditanya lagi, trial dan error itu benar-benar ngeselin yaa... Mulai dari nyari sumber code, menyesuaikan dengan bahasa di template kita... coba lagi, gagal lagi, ulang lagi. Begitu terus. Ini aku menghabiskan waktu dua jam sendiri untuk bisa menghasilkan halaman seperti ini๐Ÿ˜…. Belum rapi juga kan... Cerita dua Jadi waktu aku cari pertama itu, di blognya Teh Reisha . Tahu sedikit tentang ini jadinya makin semangat untuk mengulik lebih jauh. Btw, aku menemukan cara untuk menambahkan Daftar Isi ke dalam artikel tanpa mengutak-atik Theme utama. Tapi.. tetep aja kayanya masih noob sih, ahaha. Aku mencampurkan metode di sini dan satu lagi di sini .  Sejauh ini baru bisa bikin daftar isi begini di blogger, untuk yang daftar isi arsip artikel kuserahkan dulu sementara pada automate-nya Blogger๐Ÿ˜

(Jika) Satu hari (menjadi) food vlogger makanan halal khas Ile-de-France? (This is the route...๐Ÿ˜‹๐Ÿ˜‹ )

Well, di tengah gempuran informasi visual seputar masakan Prancis jika pernah tinggal di Prancis, yang mana dalam satu RW kamu bisa dengan mudah menemukan 5 toko kue, 8 restoran, 3 toko roti, dan 3 toko ikan, apakah semudah itu untuk menemukan makanan yang bisa dinikmati jika kamu berpegang pada prinsip halal?  Faktanya, bisa mudah bisa tidak, tergantung bagaimana kita memilih untuk menikmatinya.  Selama lebih kurang 5 tahun tinggal di Ile-de -France, Prancis, setidaknya kami pernah mencoba makan di 17 restoran yang bersertifikat halal.  Namun, jika bisa memilih rute untuk wisata kuliner makanan-makanan tersebut selama satu hari, inilah rute yang saya bayangkan akan saya ambil... Sedikit Cerita tentang Kuliner Halal di Ile-de-France Seiring dengan semakin ramainya anggota komunitas muslim di Ile de-France, yaitu provinsi yang menaungi ibukota Prancis, Paris--- semakin ramai pula demand untuk makanan halal tersedia di dalamnya. Kalau dilihat secara kasat mata saja, restoran yang paling